Jumat, 24 September 2010

KTI Leukimia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Medik
1. Pengertian
Leukimia adalah proliferasi sel darah putih yang masih imatur dalam jaringan pembentuk darah. (Suriadi, & Rita yuliani, 2001 : 175).
Leukimia adalah proliferasi tak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam sum-sum tulang menggantikan elemen sum-sum tulang normal (Smeltzer, S C and Bare, B.G, 2002 : 248 )
Leukimia adalah suatu keganasan pada alat pembuat sel darah berupa proliferasio patologis sel hemopoetik muda yang ditandai oleh adanya kegagalan sum-sum tulang dalam membentuk sel darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan tubuh yang lain. (Arief Mansjoer, dkk, 2002 : 495)
Berdasarkan dari beberapa pengetian diatas maka penulis berpendapat bahwa leukimia adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh prolioferasi abnormal dari sel-sel leukosit yang menyebabkan terjadinya kanker pada alat pembentuk darah.

2. Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya leukemia, yaitu :
a. Faktor genetik : virus tertentu menyebabkan terjadinya perubahan struktur gen (Tcell Leukemia – Lhymphoma Virus/ HLTV).
b. Radiasi
c. Obat-obat imunosupresif, obat-obat kardiogenik seperti diethylstilbestrol.
d. Faktor herediter, misalnya pada kembar monozigot.
e. Kelainan kromosom, misalnya pada down sindrom. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001 : hal. 177)
Leukemia biasanya mengenai sel-sel darah putih.
Penyebab dari sebagian besar jenis leukemia tidak diketahui.
Pemaparan terhadap penyinaran (radiasi) dan bahan kimia tertentu (misalnya benzena) dan pemakaian obat antikanker, meningkatkan resiko terjadinya leukemia. Orang yang memiliki kelainan genetik tertentu (misalnya sindroma Down dan sindroma Fanconi), juga lebih peka terhadap leukemia.
(www.medicastore.com.2006).

3. Gambaran klinik
Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada penyakit leukemia adalah sebagai berikut :
a. Pilek tidak sembuh-sembuh
b. Pucat, lesu, mudah terstimulasi
c. Demam dan anorexia
d. Berat badan menurun
e. Ptechiae, memar tanpa sebab
f. Nyeri pada tulang dan persendian
g. Nyeri abdomen
h. Lumphedenopathy
i. Hepatosplenomegaly
j. Abnormal WBC
(Suriadi & Rita Yuliani, 2001 : hal. 177)

4. Insiden
ALL (Acute Lymphoid Leukemia) adalah insiden paling tinggi terjadi pada anak-anak yang berusia antara 3 dan 5 tahun. Anak perempuan menunjukkan prognosis yang lebih baik daripada anak laki-laki. Anak kulit hitam mempunyai frekuensi remisi yang lebih sedikit dan angka kelangsungan hidup (survival rate) rata-rata yang juga lebih rendah.
ANLL (Acute Nonlymphoid Leukemia) mencakup 15% sampai 25% kasus leukemia pada anak. Resiko terkena penyakit ini meningkat pada anak yang mempunyai kelainan kromosom bawaan seperti Sindrom Down. Lebih sulit dari ALL dalam hal menginduksi remisi (angka remisi 70%). Remisinya lebih singkat pada anak-anak dengan ALL. Lima puluh persen anak yang mengalami pencangkokan sumsum tulang memiliki remisi berkepanjangan. (Betz, Cecily L. 2002. hal : 300).

5. Patofisiologi
a. Normalnya tulang marrow diganti dengan tumor yang malignan, imaturnya sel blast. Adanya proliferasi sel blast, produksi eritrosit dan platelet terganggu sehingga akan menimbulkan anemia dan trombositipenia.
b. Sistem retikuloendotelial akan terpengaruh dan menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh dan mudah mengalami infeksi.
c. Manifestasi akan tampak pada gambaran gagalnya bone marrow dan infiltrasi organ, sistem saraf pusat. Gangguan pada nutrisi dan metabolisme. Depresi sumsum tulang yangt akan berdampak pada penurunan lekosit, eritrosit, faktor pembekuan dan peningkatan tekanan jaringan.
d. Adanya infiltrasi pada ekstra medular akan berakibat terjadinya pembesaran hati, limfe, nodus limfe, dan nyeri persendian.
(Suriadi, & Yuliani R, 2001: hal. 175)

6. Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik
a. Hitung darah lengkap complete blood cell (CBC). Anak dengan CBC kurang dari 10.000/mm3 saat didiagnosis memiliki memiliki prognosis paling baik; jumlah lekosit lebih dari 50.000/mm3 adalah tanda prognosis kurang baik pada anak sembarang umur.
b. Pungsi lumbal untuk mengkaji keterlibatan susunan saraf pusat
c. Foto toraks untuk mendeteksi keterlibatan mediastinum.
d. Aspirasi sumsum tulang. Ditemukannya 25% sel blas memperkuat diagnosis.
e. Pemindaian tulang atau survei kerangka untuk mengkaji keterlibatan tulang.
f. Pemindaian ginjal, hati, limpa untuk mengkaji infiltrat leukemik.
g. Jumlah trombosit menunjukkan kapasitas pembekuan.
(Betz, Cecily L. 2002. hal : 301-302).

7. Penatalaksanaan Medis
Protokol pengobatan bervariasi sesuai jenis leukemia dan jenis obat yang diberikan pada anak. Proses induksi remisi pada anak terdiri dari tiga fase : induksi, konsolidasi, dan rumatan. Selama fase induksi (kira-kira 3 sampai 6 minggu) anak menerima berbagai agens kemoterapeutik untuk menimbulkan remisi. Periode intensif diperpanjang 2 sampai 3 minggu selama fase konsolidasi untuk memberantas keterlibatan sistem saraf pusat dan organ vital lain. Terapi rumatan diberikan selama beberapa tahun setelah diagnosis untuk memperpanjang remisi. Beberapa obat yang dipakai untuk leukemia anak-anak adalah prednison (antiinflamasi), vinkristin (antineoplastik), asparaginase (menurunkan kadar asparagin (asam amino untuk pertumbuhan tumor), metotreksat (antimetabolit), merkaptopurin, sitarabin (menginduksi remisi pada pasien dengan leukemia granulositik akut), alopurinol, siklofosfamid (antitumor kuat), dan daunorubisin (menghambat pembelahan sel selama pengobatan leukemia akut). (Betz, Cecily L. 2002. : 302).


B. Konsep Dasar Keperawatan
Menurut American Nursing Association (ANA) proses keperawatan adalah suatu metode yang sistematis yang diberikan kepada individu, keluarga dan masyarakat dengan berfokus pada respon unik dari individu, keluarga, dan masyarakat terhadap masalah kesehatan yang potensial maupun aktual. ( Marilynn E. Doengoes, dkk .2000 : 6 ).
Di dalam memberikan asuhan keperawatan terdiri dari beberapa tahap atau langkah-langkah proses keperawatan yaitu ; pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi.

1. Pengkajian
Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan, pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan pola pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien serta merumuskan diagnosa keperawatan. (Budi Anna Keliat, 1994)
Pengkajian pada leukemia meliputi :
a. Riwayat penyakit
b. Kaji adanya tanda-tanda anemia :
1). Pucat
2). Kelemahan
3). Sesak
4). Nafas cepat
c. Kaji adanya tanda-tanda leukopenia
1). Demam
2). Infeksi
d. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia :
1). Ptechiae
2). Purpura
3). Perdarahan membran mukosa
e. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola :
1). Limfadenopati
2). Hepatomegali
3). Splenomegali
f. Kaji adanya pembesaran testis
g. Kaji adanya :
1). Hematuria
2). Hipertensi
3). Gagal ginjal
4). Inflamasi disekitar rektal
5). Nyeri (Suriadi,R dan Rita Yuliani,2001 : 178)

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut The North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) adalah “ suatu penilaian klinis tentang respon individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan yang aktual dan potensial. Diagnosa keperawatan memberikan dasar untuk pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan diamana perawat bertanggung gugat “ (Wong,D.L, 2004 :331)
Menurut Wong, D.L (2004 :596 – 610) , diagnosa pada anak dengan leukemia adalah :
1. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia
3. Resiko terhadap cedera : perdarahan yang berhubungan dengan penurunan jumlah trombosit
4. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
5. Perubahan membran mukosa mulut : stomatitis yang berhubungan dengan efek samping agen kemoterapi
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan anoreksia, malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapi dan atau stomatitis
7. Nyeri yang berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agens kemoterapi, radioterapi, imobilitas.
9. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan alopesia atau perubahan cepat pada penampilan.
10. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak yang menderita leukemia.
11. Antisipasi berduka berhubungan dengan perasaan potensial kehilangan anak.

4. Rencana keperawatan
Rencana keperawatan merupakan serangkaian tindakan atau intervensi untuk mencapai tujuan pelaksanaan asuhan keperawatan.
Intervensi keperawatan adalah preskripsi untuk perilaku spesifik yang diharapkan dari pasien dan atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat.
Berdasarkan diagnosa yang ada maka dapat disusun rencana keperawatan sebagai berikut (Wong,D.L,2004 )
a. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
1) Tujuan : Anak tidak mengalami gejala-gejala infeksi
2) Intervensi :
a) Pantau suhu dengan teliti
Rasional : untuk mendeteksi kemungkinan infeksi
b) Tempatkan anak dalam ruangan khusus
Rasional : untuk meminimalkan terpaparnya anak dari sumber infeksi
c) Anjurkan semua pengunjung dan staff rumah sakit untuk menggunakan teknik mencuci tangan dengan baik
Rasional : untuk meminimalkan pajanan pada organisme infektif
d) Gunakan teknik aseptik yang cermat untuk semua prosedur invasif
Rasional : untuk mencegah kontaminasi silang/menurunkan resiko infeksi
e) Evaluasi keadaan anak terhadap tempat-tempat munculnya infeksi seperti tempat penusukan jarum, ulserasi mukosa, dan masalah gigi
Rasional : untuk intervensi dini penanganan infeksi
f) Inspeksi membran mukosa mulut. Bersihkan mulut dengan baik
Rasional : rongga mulut adalah medium yang baik untuk pertumbuhan organisme
g) Berikan periode istirahat tanpa gangguan
Rasional : menambah energi untuk penyembuhan dan regenerasi seluler
h) Berikan diet lengkap nutrisi sesuai usia
Rasional : untuk mendukung pertahanan alami tubuh
i) Berikan antibiotik sesuai ketentuan
Rasional : diberikan sebagai profilaktik atau mengobati infeksi khusus

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia
1) Tujuan : terjadi peningkatan toleransi aktifitas
2) Intervensi :
a) Evaluasi laporan kelemahan, perhatikan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dala aktifitas sehari-hari
Rasional : menentukan derajat dan efek ketidakmampuan
b) Berikan lingkungan tenang dan perlu istirahat tanpa gangguan
Rasional : menghemat energi untuk aktifitas dan regenerasi seluler atau penyambungan jaringan
c) Kaji kemampuan untuk berpartisipasi pada aktifitas yang diinginkan atau dibutuhkan
Rasional : mengidentifikasi kebutuhan individual dan membantu pemilihan intervensi
d) Berikan bantuan dalam aktifitas sehari-hari dan ambulasi
Rasional : memaksimalkan sediaan energi untuk tugas perawatan diri

c. Resiko terhadap cedera/perdarahan yang berhubungan dengan penurunan jumlah trombosit
1) Tujuan : klien tidak menunjukkan bukti-bukti perdarahan
2) Intervensi :
a) Gunakan semua tindakan untuk mencegah perdarahan khususnya pada daerah ekimosis
Rasional : karena perdarahan memperberat kondisi anak dengan adanya anemia
b) Cegah ulserasi oral dan rektal
Rasional : karena kulit yang luka cenderung untuk berdarah
c) Gunakan jarum yang kecil pada saat melakukan injeksi
Rasional : untuk mencegah perdarahan
d) Menggunakan sikat gigi yang lunak dan lembut
Rasional : untuk mencegah perdarahan
e) Laporkan setiap tanda-tanda perdarahan (tekanan darah menurun, denyut nadi cepat, dan pucat)
Rasional : untuk memberikan intervensi dini dalam mengatasi perdarahan
f) Hindari obat-obat yang mengandung aspirin
Rasional : karena aspirin mempengaruhi fungsi trombosit
g) Ajarkan orang tua dan anak yang lebih besar ntuk mengontrol perdarahan hidung
Rasional : untuk mencegah perdarahan

d. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
1) Tujuan : - Tidak terjadi kekurangan volume cairan
- Pasien tidak mengalami mual dan muntah
2) Intervensi :
a) Berikan antiemetik awal sebelum dimulainya kemoterapi
Rasional : untuk mencegah mual dan muntah
b) Berikan antiemetik secara teratur pada waktu dan program kemoterapi
Rasional : untuk mencegah episode berulang
c) Kaji respon anak terhadap anti emetik
Rasional : karena tidak ada obat antiemetik yang secara umum berhasil
d) Hindari memberikan makanan yang beraroma menyengat
Rasional : bau yang menyengat dapat menimbulkan mual dan muntah
e) Anjurkan makan dalam porsi kecil tapi sering
Rasional : karena jumlah kecil biasanya ditoleransi dengan baik
f) Berikan cairan intravena sesuai ketentuan
g) Rasional : untuk mempertahankan hidrasi

e. Perubahan membran mukosa mulut : stomatitis yang berhubungan dengan efek samping agen kemoterapi
1) Tujuan : pasien tidak mengalami mukositis oral
2) Intervensi :
a) Inspeksi mulut setiap hari untuk adanya ulkus oral
Rasional : untuk mendapatkan tindakan yang segera
b) Hindari mengukur suhu oral
Rasional : untuk mencegah trauma
c) Gunakan sikat gigi berbulu lembut, aplikator berujung kapas, atau jari yang dibalut kasa
Rasional : untuk menghindari trauma
d) Berikan pencucian mulut yang sering dengan cairan salin normal atau tanpa larutan bikarbonat
Rasional : untuk menuingkatkan penyembuhan
e) Gunakan pelembab bibir
Rasional : untuk menjaga agar bibir tetap lembab dan mencegah pecah-pecah (fisura)
f) Hindari penggunaan larutan lidokain pada anak kecil
Rasional : karena bila digunakan pada faring, dapat menekan refleks muntah yang mengakibatkan resiko aspirasi dan dapat menyebabkan kejang
g) Berikan diet cair, lembut dan lunak
Rasional : agar makanan yang masuk dapat ditoleransi anak
h) Inspeksi mulut setiap hari
Rasional : untuk mendeteksi kemungkinan infeksi
i) Dorong masukan cairan dengan menggunakan sedotan
Rasional : untuk membantu melewati area nyeri
j) Hindari penggunaa swab gliserin, hidrogen peroksida dan susu magnesia
Rasional : dapat mengiritasi jaringan yang luka dan dapat membusukkan gigi, memperlambat penyembuhan dengan memecah protein dan dapat mengeringkan mukosa
k) Berikan obat-obat anti infeksi sesuai ketentuan
Rasional : untuk mencegah atau mengatasi mukositis
l) Berikan analgetik
Rasional : untuk mengendalikan nyeri

f. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan anoreksia, malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapi dan atau stomatitis
1) Tujuan : pasien mendapat nutrisi yang adekuat
2) Intervensi :
a) Dorong orang tua untuk tetap rileks pada saat anak makan
Rasional : jelaskan bahwa hilangnya nafsu makan adalah akibat langsung dari mual dan muntah serta kemoterapi
b) Izinkan anak memakan semua makanan yang dapat ditoleransi, rencanakan unmtuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat
Rasional : untuk mempertahankan nutrisi yang optimal
c) Berikan makanan yang disertai suplemen nutrisi gizi, seperti susu bubuk atau suplemen yang dijual bebas
Rasional : untuk memaksimalkan kualitas intake nutrisi
d) Izinkan anak untuk terlibat dalam persiapan dan pemilihan makanan
Rasional : untuk mendorong agar anak mau makan
e) Dorong masukan nutrisi dengan jumlah sedikit tapi sering
Rasional : karena jumlah yang kecil biasanya ditoleransi dengan baik
f) Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori kaya nutrient
Rasional : kebutuhan jaringan metabolik ditingkatkan begitu juga cairan untuk menghilangkan produk sisa suplemen dapat memainkan peranan penting dalam mempertahankan masukan kalori dan protein yang adekuat
g) Timbang BB, ukur TB dan ketebalan lipatan kulit trisep
Rasional : membantu dalam mengidentifikasi malnutrisi protein kalori, khususnya bila BB dan pengukuran antropometri kurang dari normal

g. Nyeri yang berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia
1) Tujuan : pasien tidak mengalami nyeri atau nyeri menurun sampai tingkat yang dapat diterima anak
2) Intervensi :
a) Mengkaji tingkat nyeri dengan skala 0 sampai 5
Rasional : informasi memberikan data dasar untuk mengevaluasi kebutuhan atau keefektifan intervensi
b) Jika mungkin, gunakan prosedur-prosedur (misal pemantauan suhu non invasif, alat akses vena
Rasional : untuk meminimalkan rasa tidak aman
c) Evaluasi efektifitas penghilang nyeri dengan derajat kesadaran dan sedasi
Rasional : untuk menentukan kebutuhan perubahan dosis. Waktu pemberian atau obat
d) Lakukan teknik pengurangan nyeri non farmakologis yang tepat
Rasional : sebagai analgetik tambahan
e) Berikan obat-obat anti nyeri secara teratur
Rasional : untuk mencegah kambuhnya nyeri

h. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agens kemoterapi, radioterapi, imobilitas
1) Tujuan : pasien mempertahankan integritas kulit
2) Intervensi :
a) Berikan perawatan kulit yang cemat, terutama di dalam mulut dan daerah perianal
Rasional : karena area ini cenderung mengalami ulserasi
b) Ubah posisi dengan sering
Rasional : untuk merangsang sirkulasi dan mencegah tekanan pada kulit
c) Mandikan dengan air hangat dan sabun ringan
Rasional : mempertahankan kebersihan tanpa mengiritasi kulit
d) Kaji kulit yang kering terhadap efek samping terapi kanker
Rasional : efek kemerahan atau kulit kering dan pruritus, ulserasi dapat terjadi dalam area radiasi pada beberapa agen kemoterapi
e) Anjurkan pasien untuk tidak menggaruk dan menepuk kulit yang kering
Rasional : membantu mencegah friksi atau trauma kulit
f) Dorong masukan kalori protein yang adekuat
Rasional : untuk mencegah keseimbangan nitrogen yang negatif
g) Pilih pakaian yang longgar dan lembut diatas area yang teradiasi
Rasional : untuk meminimalkan iritasi tambahan

i. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan alopesia atau perubahan cepat pada penampilan
1) Tujuan : pasien atau keluarga menunjukkan perilaku koping positif
2) Intervensi :
a) Dorong anak untuk memilih wig (anak perempuan) yang serupa gaya dan warna rambut anak sebelum rambut mulai rontok
Rasional : untuk membantu mengembangkan penyesuaian rambut terhadap kerontokan rambut
b) Berikan penutup kepala yang adekuat selama pemajanan pada sinar matahari, angin atau dingin
Rasional : karena hilangnya perlindungan rambut
c) Anjurkan untuk menjaga agar rambut yang tipis itu tetap bersih, pendek dan halus
Rasional : untuk menyamarkan kebotakan parsial
d) Jelaskan bahwa rambut mulai tumbuh dalam 3 hingga 6 bulan dan mungkin warna atau teksturnya agak berbeda
Rasional : untuk menyiapkan anak dan keluarga terhadap perubahan penampilan rambut baru
e) Dorong hygiene, berdan, dan alat alat yang sesuai dengan jenis kelamin , misalnya wig, skarf, topi, tata rias, dan pakaian yang menarik
Rasional : untuk meningkatkan penampilan

j. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak yang menderita leukemia
1) Tujuan : pasien atau keluarga menunjukkan pengetahuan tentang prosedur diagnostik atau terapi
2) Intervensi :
a) Jelaskan alasan setiap prosedur yang akan dilakukan pda anak
Rasional : untuk meminimalkan kekhawatiran yang tidak perlu
b) Jadwalkan waktu agar keluarga dapat berkumpul tanpa gangguan dari staff
Rasional : untuk mendorong komunikasi dan ekspresi perasaan
c) Bantu keluarga merencanakan masa depan, khususnya dalam membantu anak menjalani kehidupan yang normal
Rasional : untuk meningkatkan perkembangan anak yang optimal
d) Dorong keluarga untuk mengespresikan perasaannya mengenai kehidupan anak sebelum diagnosa dan prospek anak untuk bertahan hidup
Rasional : memberikan kesempatan pada keluarga untuk menghadapi rasa takut secara realistis
e) Diskusikan bersama keluarga bagaimana mereka memberitahu anak tentang hasil tindakan dan kebutuhan terhadap pengobatan dan kemungkinan terapi tambahan
Rasional : untuk mempertahankan komunikasi yang terbuka dan jujur
f) Hindari untuk menjelaskan hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada
Rasional : untuk mencegah bertambahnya rasa khawatiran keluarga

k. Antisipasi berduka berhubungan dengan perasaan potensial kehilangan anak
1) Tujuan : pasien atau keluarga menerima dan mengatasi kemungkinan kematian anak
2) Intervensi :
a) Kaji tahapan berduka terhadap anak dan keluarga
Rasional : pengetahuan tentang proses berduka memperkuat normalitas perasaan atau reaksi terhadap apa yang dialami dan dapat membantu pasien dan keluarga lebih efektif menghadapi kondisinya
b) Berikan kontak yang konsisten pada keluarga
Rasional : untuk menetapkan hubungan saling percaya yang mendorong komunikasi
c) Bantu keluarga merencanakan perawatan anak, terutama pada tahap terminal
Rasional : untuk meyakinkan bahwa harapan mereka diimplementasikan
d) Fasilitasi anak untuk mengespresikan perasaannya melalui bermain
Rasional : memperkuat normalitas perasaan atau reaksi terhadap apa yang dialami

5. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan dari perencanaan keperawatan yang telah dibuat untuk mencapai hasil yang efektif. Dalam pelaksanaan implementasi keperawatan, penguasaan keterampilan dan pengetahuan harus dimiliki oleh setiap perawat sehingga pelayanan yang diberikan baik mutunya. Dengan demikian tujuan dari rencana yang telah ditentukan dapat tercapai (Wong. D.L.2004:hal.331).

6. Evaluasi
Evaluasi adalah suatu penilaian terhadap keberhasilan rencana keperawatan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan klien. Menurut Wong. D.L, (2004 hal 596-610) hasil yang diharapkan pada klien dengan leukemia adalah :
a. Anak tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
b. Berpartisipasi dalam aktifitas sehari-sehari sesuai tingkat kemampuan, adanya laporan peningkatan toleransi aktifitas.
c. Anak tidak menunjukkan bukti-bukti perdarahan.
d. Anak menyerap makanan dan cairan, anak tidak mengalami mual dan muntah
e. Membran mukosa tetap utuh, ulkus menunjukkan tidak adanya rasa tidak nyaman
f. Masukan nutrisi adekuat
g. Anak beristirahat dengan tenang, tidak melaporkan dan atau menunjukkan bukti-bukti ketidaknyamanan, tidak mengeluhkan perasaan tidak nyaman.
h. Kulit tetap bersih dan utuh
i. Anak mengungkapkan masalah yang berkaitan dengan kerontokan rambut, anak membantu menentukan metode untuk mengurangi efek kerontokan rambut dan menerapkan metode ini dan anak tampak bersih, rapi, dan berpakaian menarik.
j. Anak dan keluarga menunjukkan pemahaman tentang prosedur, keluarga menunjukkan pengetahuan tentang penyakit anak dan tindakannya. Keluarga mengekspresikan perasaan serta kekhawatirannya dan meluangkan waktu bersama anak.
k. Keluarga tetap terbuka untuk konseling dan kontak keperawatan, keluarga dan anak mendiskusikan rasa takut, kekhawatiran, kebutuhan dan keinginan mereka pada tahap terminal, pasien dan keluarga mendapat dukungan yang adekuat.

KTI Sindrom Nefrotik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A. Konsep Dasar Medik
1. Pengertian
Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L. Wong, 2004 : 550).
Sindrom Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh injuri glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria, hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan Rita Yuliani, 2001: 217).
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuria massif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 gram/100 ml) yang disertai atau tidak disertai dengan edema dan hiperkolesterolemia. (Rauf, 2002 : 21).
Berdasarkan pengertian diatas maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa Sindrom Nefrotik pada anak merupakan kumpulan gejala yang terjadi pada anak dengan karakteristik proteinuria massif hipoalbuminemia, hiperlipidemia yang disertai atau tidak disertai edema dan hiperkolestrolemia.

2. Anatomi fisiologi
a. Anatomi
Ginjal merupakan salah satu bagian saluran kemih yang terletak retroperitoneal dengan panjang lebih kurang 11-12 cm, disamping kiri kanan vertebra.
Pada umumnya, ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri oleh karena adanya hepar dan lebih dekat ke garis tengah tubuh. Batas atas ginjal kiri setinggi batas atas vertebra thorakalis XII dan batas bawah ginjal setinggi batas bawah vertebra lumbalis III.
Pada fetus dan infan, ginjal berlobulasi. Makin bertambah umur, lobulasi makin kurang sehingga waktu dewasa menghilang.
Parenkim ginjal terdiri atas korteks dan medula. Medula terdiri atas piramid-piramid yang berjumlah kira-kira 8-18 buah, rata-rata 12 buah. Tiap-tiap piramid dipisahkan oleh kolumna bertini. Dasar piramid ini ditutup oleh korteks, sedang puncaknya (papilla marginalis) menonjol ke dalam kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu menjadi kaliks mayor yang berjumlah 2 atau 3 ditiap ginjal. Kaliks mayor/minor ini bersatu menjadi pelvis renalis dan di pelvis renalis inilah keluar ureter.
Korteks sendiri terdiri atas glomeruli dan tubili, sedangkan pada medula hanya terdapat tubuli. Glomeruli dari tubuli ini akan membentuk Nefron. Satu unit nefron terdiri dari glomerolus, tubulus proksimal, loop of henle, tubulus distal (kadang-kadang dimasukkan pula duktus koligentes). Tiap ginjal mempunyai lebih kurang 1,5-2 juta nefron berarti pula lebih kurang 1,5-2 juta glomeruli.
Pembentukan urin dimulai dari glomerulus, dimana pada glomerulus ini filtrat dimulai, filtrat adalah isoosmotic dengan plasma pada angka 285 mosmol. Pada akhir tubulus proksimal 80 % filtrat telah di absorbsi meskipun konsentrasinya masih tetap sebesar 285 mosmol. Saat infiltrat bergerak ke bawah melalui bagian desenden lengkung henle, konsentrasi filtrat bergerak ke atas melalui bagian asenden, konsentrasi makin lama makin encer sehingga akhirnya menjadi hipoosmotik pada ujung atas lengkung. Saat filtrat bergerak sepanjang tubulus distal, filtrat menjadi semakin pekat sehingga akhirnya isoosmotic dengan plasma darah pada ujung duktus pengumpul. Ketika filtrat bergerak turun melalui duktus pengumpul sekali lagi konsentrasi filtrat meningkat pada akhir duktus pengumpul, sekitar 99% air sudah direabsorbsi dan hanya sekitar 1% yang diekskresi sebagai urin atau kemih (Price,2001 : 785).

b. Fisiologi ginjal
Telah diketahui bahwa ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi yang sangat penting melalui ultrafiltrat yang terbentuk dalam glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output.
1) Faal glomerolus
Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat yang dapat masuk ke tubulus akibat tekanan hidrostatik kapiler yang lebih besar dibanding tekanan hidrostatik intra kapiler dan tekanan koloid osmotik. Volume ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan tubuh disebut glomerula filtration rate (GFR). GFR normal dewasa : 120 cc/menit/1,73 m2 (luas pemukaan tubuh). GFR normal umur 2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan tubuh anak.
2) Faal Tubulus
Fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorbsi dan sekresi dari zat-zat yang ada dalam ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus. Sebagaimana diketahui, GFR : 120 ml/menit/1,73 m2, sedangkan yang direabsorbsi hanya 100 ml/menit, sehingga yang diekskresi hanya 1 ml/menit dalam bentuk urin atau dalam sehari 1440 ml (urin dewasa). Pada anak-anak jumlah urin dalam 24 jam lebih kurang dan sesuai dengan umur :
a) 1-2 hari : 30-60 ml
b) 3-10 hari : 100-300 ml
c) 10 hari-2 bulan : 250-450 ml
d) 2 bulan-1 tahun : 400-500 ml
e) 1-3 tahun : 500-600 ml
f) 3-5 tahun : 600-700 ml
g) 5-8 tahun : 650-800 ml
h) 8-14 tahun : 800-1400 ml
3) Faal Tubulus Proksimal
Tubulus proksimal merupakan bagian nefron yang paling banyak melakukan reabsorbsi yaitu ± 60-80 % dari ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus. Zat-zat yang direabsorbsi adalah protein, asam amino dan glukosa yang direabsorbsi sempurna. Begitu pula dengan elektrolit (Na, K, Cl, Bikarbonat), endogenus organic ion (citrat, malat, asam karbonat), H2O dan urea. Zat-zat yang diekskresi asam dan basa organik.
4) Faal loop of henle
Loop of henle yang terdiri atas decending thick limb, thin limb dan ascending thick limb itu berfungsi untuk membuat cairan intratubuler lebih hipotonik.
5) Faal tubulus distalis dan duktus koligentes
Mengatur keseimbangan asam basa dan keseimbangan elektrolit dengan cara reabsorbsi Na dan H2O dan ekskresi Na, K, Amonium dan ion hidrogen. (Rauf, 2002 : 4-5).

3. Etiologi
Sebab pasti belum diketahui. Umunya dibagi menjadi :
a. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosom atau karena reaksi fetomaternal
b. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh parasit malaria, penyakit kolagen, glomerulonefritis akut, glomerulonefrits kronik, trombosis vena renalis, bahan kimia (trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, raksa), amiloidosis, dan lain-lain.
c. Sindrom nefrotik idiopatik (tidak diketahui penyebabnya)
(Arif Mansjoer,2000 :488)

4. Insiden
a. Insidens lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan.
b. Mortalitas dan prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari, dan responnya trerhadap pengobatan
c. Sindrom nefrotik jarang menyerang anak dibawah usia 1 tahun
d. Sindrom nefrotik perubahan minimal (SNPM) menacakup 60 – 90 % dari semua kasus sindrom nefrotik pada anak
e. Angka mortalitas dari SNPM telah menurun dari 50 % menjadi 5 % dengan majunya terapi dan pemberian steroid.
f. Bayi dengan sindrom nefrotik tipe finlandia adalah calon untuk nefrektomi bilateral dan transplantasi ginjal. (Cecily L Betz, 2002 : 334)

5. Patofisiologi
a. Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria. Lanjutan dari proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan menurunnya albumin, tekanan osmotik plasma menurun sehingga cairan intravaskuler berpindah ke dalam interstitial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke renal karena hypovolemi.
b. Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi dengan merangsang produksi renin – angiotensin dan peningkatan sekresi anti diuretik hormon (ADH) dan sekresi aldosteron yang kemudian terjadi retensi kalium dan air. Dengan retensi natrium dan air akan menyebabkan edema.
c. Terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari peningkatan stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin dan penurunan onkotik plasma
d. Adanya hiper lipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipopprtein dalam hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein, dan lemak akan banyak dalam urin (lipiduria)
e. Menurunya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan disebabkan oleh karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defesiensi seng. (Suriadi dan Rita yuliani, 2001 :217)

6. Manifestasi klinik
a. Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan ekstermitas bawah.
b. Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa
c. Pucat
d. Hematuri
e. Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.
f. Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan keletihan umumnya terjadi.
g. Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang), (Betz, Cecily L.2002 : 335 ).

7. Pemeriksaan diagnostik
a. Uji urine
1) Protein urin – meningkat
2) Urinalisis – cast hialin dan granular, hematuria
3) Dipstick urin – positif untuk protein dan darah
4) Berat jenis urin – meningkat
b. Uji darah
1) Albumin serum – menurun
2) Kolesterol serum – meningkat
3) Hemoglobin dan hematokrit – meningkat (hemokonsetrasi)
4) Laju endap darah (LED) – meningkat
5) Elektrolit serum – bervariasi dengan keadaan penyakit perorangan.
c. Uji diagnostik
Biopsi ginjal merupakan uji diagnostik yang tidak dilakukan secara rutin (Betz, Cecily L, 2002 : 335).

8. Penatalaksanaan Medik
a. Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dan menghindar makanan yang diasinkan. Diet protein 2 – 3 gram/kgBB/hari
b. Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya edema dan respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan hididroklortiazid (25 – 50 mg/hari), selama pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik dan kehilangan cairan intravaskuler berat.
c. Pengobatan kortikosteroid yang diajukan Internasional Coopertive Study of Kidney Disease in Children (ISKDC), sebagai berikut :
1) Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari luas permukaan badan (1bp) dengan maksimum 80 mg/hari.
2) Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis 40 mg/hari/1bp, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat respon selama pengobatan, maka pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu
d. Cegah infeksi. Antibiotik hanya dapat diberikan bila ada infeksi
e. Pungsi asites maupun hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital
(Arif Mansjoer,2000 : 488 )

9. Komplikasi
a. Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat hipoalbuminemia.
b. Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml) yang menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock.
c. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga terjadi peninggian fibrinogen plasma.
d. Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal.
(Rauf, .2002 : .27-28).


B. Konsep Dasar Keperawatan
Asuhan Keperawatan dilakukan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan untuk meningkatkan, mencegah dan memulihkan kesehatan.
Proses Keperawatan merupakan susunan metode pemecahan masalah yang meliputi pengkajian keperawatan, identifikasi/analisa maslah (diagnosa Keperawatan), perencanaan, implementasi dan evaluasi yang masing-masing berkesinambungan serta memerlukan kecakapan keterampilan profesional tenaga keperawatan (Hidayat,2004.hal.95)

1. Pengkajian.
Pengkajian merupakan langkah awal dari tahapan proses keperawatan. Dalam mengkaji, harus memperhatikan data dasar pasien. Keberhasilan proses keperawatan sangat tergantung pada kecermatan dan ketelitian dalam tahap pengkajian.
Pengkajian yang perlu dilakukan pada klien anak dengan sindrom nefrotik (Donna L. Wong,200 : 550) sebagai berikut :
a. Lakukan pengkajian fisik termasuk pengkajian luasnya edema
b. Dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat, terutama yang berhubungan dengan penambahan berat badan saat ini, disfungsi ginjal.
c. Observasi adanya manifestasi sindrom nefrotik :
1) Penambahan berat badan
2) Edema
3) Wajah sembab :
a) Khususnya di sekitar mata
b) Timbul pada saat bangun pagi
c) Berkurang di siang hari
4) Pembengkakan abdomen (asites)
5) Kesulitan pernafasan (efusi pleura)
6) Pembengkakan labial (scrotal)
7) Edema mukosa usus yang menyebabkan :
a) Diare
b) Anoreksia
c) Absorbsi usus buruk
8) Pucat kulit ekstrim (sering)
9) Peka rangsang
10) Mudah lelah
11) Letargi
12) Tekanan darah normal atau sedikit menurun
13) Kerentanan terhadap infeksi
14) Perubahan urin :
a) Penurunan volume
b) Gelap
c) Berbau buah
d. Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian, misalnya analisa urine akan adanya protein, silinder dan sel darah merah; analisa darah untuk protein serum (total, perbandingan albumin/globulin, kolesterol), jumlah darah merah, natrium serum.

2. Diagnosa keperawatan berdasarkan prioritas
a. Kelebihan volume cairan (total tubuh) berhubungan dengan akumulasi cairan dalam jaringan dan ruang ketiga.
1) Tujuan
Pasien tidak menunjukkan bukti-bukti akumulasi cairan (pasien mendapatkan volume cairan yang tepat)
2) Intervensi
b) Kaji masukan yang relatif terhadap keluaran secara akurat.
Rasional : perlu untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan penurunan resiko kelebihan cairan.
c) Timbang berat badan setiap hari (ataui lebih sering jika diindikasikan).
Rasional : mengkaji retensi cairan
d) Kaji perubahan edema : ukur lingkar abdomen pada umbilicus serta pantau edema sekitar mata.
Rasional : untuk mengkaji ascites dan karena merupakan sisi umum edema.
e) Atur masukan cairan dengan cermat.
Rasional : agar tidak mendapatkan lebih dari jumlah yang dibutuhkan
f) Pantau infus intra vena
Rasional : untuk mempertahankan masukan yang diresepkan
g) Berikan kortikosteroid sesuai ketentuan.
Rasional : untuk menurunkan ekskresi proteinuria
h) Berikan diuretik bila diinstruksikan.
Rasional : untuk memberikan penghilangan sementara dari edema.

b. Resiko tinggi kekurangan volume cairan (intravaskuler) berhubungan dengan kehilangan protein dan cairan, edema
1) Tujuan
Klien tidak menunjukkan kehilangan cairan intravaskuler atau shock hipovolemik yang diyunjukkan pasien minimum atau tidak ada
2) Intervensi
a) Pantau tanda vital
Rasional : untuk mendeteksi bukti fisik penipisan cairan
b) Kaji kualitas dan frekwensi nadi
Rasional : untuk tanda shock hipovolemik
c) Ukur tekanan darah
Rasional : untuk mendeteksi shock hipovolemik
d) Laporkan adanya penyimpangan dari normal
Rasional : agar pengobatan segera dapat dilakukan

c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh yang menurun, kelebihan beban cairan cairan, kelebihan cairan.
1) Tujuan
Tuidak menunjukkan adanya bukti infeksi
2) Intervensi
a) Lindungi anak dari kontak individu terinfeksi
Rasional : untuk meminimalkan pajanan pada organisme infektif
b) Gunakan teknik mencuci tangan yang baik
Rasional : untuk memutus mata rantai penyebar5an infeksi
c) Jaga agar anak tetap hangat dan kering
Rasiona;l : karena kerentanan terhadap infeksi pernafasan
d) Pantau suhu.
Rasional : indikasi awal adanya tanda infeksi
e) Ajari orang tua tentang tanda dan gejala infeksi
Rasional : memberi pengetahuan dasar tentang tanda dan gejala infeksi

d. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema, penurunan pertahanan tubuh.
1) Tujuan
Kulit anak tidak menunjukkan adanya kerusakan integritas : kemerahan atau iritasi
2) Intervensi
a) Berikan perawatan kulit
Rasional : memberikan kenyamanan pada anak dan mencegah kerusakan kulit
b) Hindari pakaian ketat
Rasional : dapat mengakibatkan area yang menonjol tertekan
c) Bersihkan dan bedaki permukaan kulit beberapa kali sehari
Rasional : untuk mencegah terjadinya iritasi pada kulit karena gesekan dengan alat tenun
d) Topang organ edema, seperti skrotum
Rasional : unjtuk menghilangkan aea tekanan
e) Ubah posisi dengan sering ; pertahankan kesejajaran tubuh dengan baik
Rasional : karena anak dengan edema massif selalu letargis, mudah lelah dan diam saja
f) Gunakan penghilang tekanan atau matras atau tempat tidur penurun tekanan sesuai kebutuhan
Rasional : untuk mencegah terjadinya ulkus

e. Perubahan nutrisi ; kurang dari kebtuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan nafsu makan
1) Tujuan
Pasien mendapatkan nutrisi yang optimal
2) Intervensi
a) Beri diet yang bergizi
Rasional : membantu pemenuhan nutrisi anak dan meningkatkan daya tahan tubuh anak
b) Batasi natrium selama edema dan trerapi kortikosteroid
Rasinal : asupan natrium dapat memperberat edema usus yang menyebabkan hilangnya nafsu makan anak
c) Beri lingkungan yang menyenangkan, bersih, dan rileks pada saat makan
Rasional : agar anak lebih mungkin untuk makan
d) Beri makanan dalam porsi sedikit pada awalnya
Rasional : untuk merangsang nafsu makan anak
e) Beri makanan spesial dan disukai anak
Rasional : untuk mendorong agar anak mau makan
f) Beri makanan dengan cara yang menarik
Raional : untuk menrangsang nafsu makan anak

f. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan
1) Tujuan
Agar dapat mengespresikan perasaan dan masalah dengan mengikutin aktivitas yang sesuai dengan minat dan kemampuan anak.
2) Intervensi
a) Gali masalah dan perasaan mengenai penampilan
Rasional : untuk memudahkan koping
b) Tunjukkan aspek positif dari penampilan dan bukti penurunan edema
Rasional : meningkatkan harga diri klien dan mendorong penerimaan terhadap kondisinya
c) Dorong sosialisasi dengan individu tanpa infeksi aktif
Rasional : agar anak tidak merasa sendirian dan terisolasi
d) Beri umpan balik posisitf
Rasional : agar anak merasa diterima

g. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelelahan
1) Tujuan
Anak dapat melakukan aktifitas sesuai dengan kemampuan dan mendapatkan istirahat dan tidur yang adekuat
2) Intervensi
a) Pertahankan tirah baring awal bila terjadi edema hebat
Rasional : tirah baring yang sesuai gaya gravitasi dapat menurunkan edema
b) Seimbangkan istirahat dan aktifitas bila ambulasi
Rasional : ambulasi menyebabkan kelelahan
c) Rencanakan dan berikan aktivitas tenang
Rasional : aktivitas yang tenang mengurangi penggunaan energi yang dapat menyebabkan kelelahan
d) Instruksikan istirahat bila anak mulai merasa lelah
Rasional : mengadekuatkan fase istirahat anak
e) Berikan periode istirahat tanpa gangguan
Rasional : anak dapat menikmati masa istirahatnya

h. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang menderita penyakit serius
1) Tujuan
Pasien (keluarga) mendapat dukungan yang adekuat
2) Intervensi
a) Kenali masalah keluarga dan kebutuhan akan informasi, dukungan
Rasional : mengidentifikasi kebuutuhan yang dibutuhkan keluarga
b) Kaji pemahaman keluarga tentang diagnosa dan rencana perawatan
Rasional : keluarga akan beradaptasi terhadap segala tindakan keperawatan yang dilakukan
c) Tekankan dan jelaskan profesional kesehatan tentang kondisi anak, prosedur dan terapi yang dianjurkan, serta prognosanya
Rasional : agar keluarga juga mengetahui masalah kesehatan anaknya
d) Gunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan pemahaman keluarga Keluarga tentang penyakit dan terapinya
Rasional : mengoptimalisasi pendidikan kesehatan terhadap
e) Ulangi informasi sesering mungkin
Rasional : untuk memfasilitasi pemahaman
f) Bantu keluarga mengintrepetasikan perilaku anak serta responnya
Rasional : keluarga dapat mengidentifikasi perilaku anak sebagai orang yang terdekat dengan anak
g) Jangan tampak terburu-buru, bila waktunya tidak tepat
Rasional : mempermantap rencana yang telah disusun sebelumnya. (Donna L Wong,2004 : 550-552).

Minggu, 19 September 2010

KTI Limfoma Hodkins

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A. KONSEP MEDIS
1. Defenisi
a. Limfoma adalah keganasan sel yang berasal dari sel limfoid. Biasanya diklasifikasikan sesuai derajat diferensiasi dan asal sel ganas yang dominan.(Suzanne C Smeltzer, 2002)
b. Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi dikaitkan dengan virus Epstein Barr. (Sylvia A. price, 2006)
c. Limfoma adalah kanker yang tumbuh akibat mutasi sel limfosit (sejenis sel darah putih) yang sebelumnya normal. Seperti halnya limfosit normal, limfosit ganas dapat tumbuh pada berbagai organ dalam tubuh, termasuk kelenjar getah bening, limpa, sumsum tulang, darah ataupun organ lain.(http://www.canhope.com)
d. Limfoma (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk keganasan dari sistem limfatik yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B, sel T dan histiosit sehingga muncul istilah limfoma malignum (maligna = ganas).( http://www.blogger.com)
e. Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa limfoma merupakan suatu bentuk keganasan yang berasal dari sistem limfatik yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B, sel T dan histiosit yang dapat muncul pada berbagai organ tubuh termasuk kelenjar getah bening

2. Klasifikasi Limfoma
Mula-mula kita harus membedakan antara penyakit Hodgkin (yang erat berhubungan limfoma) dan limfoma non-Hodgkin (NHL). Meskipun keduanya berasal dari jaringan limfoid, penyakit Hodgkin sebagai terbentuk oleh sifat-sifat morfologi yang berbeda, diantaranya sel Reed-Sternberg, yang tampak dalam semua varian penyakit Hodgkin.( Sumantri, 2006)

3. Etiologi
Penyebabnya belum diketahui pasti, tapi beberapa ahli menduga penyebabnya adalah :
a. Infeksi virus, infeksi virus onkogenik diduga berperan dalam menimbulkan lesi genetik. Virus-virus tersebut adalah virus Epistein Barr, sitomegalovirus, HIV dan Human Herpes virus-6 (HHV-6)
b. Difisiensi imun, misalnya pada pasien transplantasi organ dengan pemberian otot imunosupresif atau pada pasien cangkok tulang. (Sumantri, 2006)
4. Insiden
Penyakit hodgkin merupakan penyakit sistem hematologi yang biasanya lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita dan mempunyai dua puncak insidensi : satu pada awal 20-an dan yang lainnya setelah usia 50 tahun. Karena kebanyakan manifestasinya serupa dengan infeksi, maka harus dilakukan pemeriksaan diagnostik untuk menyingkirkan adanya infeksi.(Nelson, 2000)

5. Anatomi dan Fisiologi
Sistem hematologi tersusun atas darah dan tempat darah diproduksi, termasuk sumsum tulang dan nodus limfa. Darah adalah organ khusus yang berbeda dengan organ lain karena berbentuk cairan. Volume darah manusia sekitar 7%-10% berat badan normal dan berjumlah sekitar 5 liter. Darah bersirkulasi di dalam sistem vaskuler dan berperan sebagai penghubung antara organ tubuh, membawa oksigen yang diabsorpsi oleh paru dan nutrisi yang diabsorpsi oleh traktus gastrointestinal ke sel tubuh untuk metabolisme sel. Darah juga mengangkut produk sampah yang dihasilkan oleh metabolisme sel ke paru, kulit dan ginjal yang akan ditransformasi dan dibuang bodi ke tempat sasaran atau tujuan (Suzanne C Smeltzer,2002)
Darah terdiri daripada beberapa jenis korpuskula yang membentuk 45% bagian dari darah. Bagian 55% yang lain berupa cairan kekuningan yang membentuk medium cairan darah yang disebut plasma darah.
a) Plasma darah pada dasarnya adalah larutan air yang mengandung :
1) Albumin
2) Bahan pembeku darah ( trombosit)
3) Immunoglobin (antibodi)
4) Hormon
5) Berbagai jenis protein
6) Berbagai jenis garam
b) Korpuskula darah terdiri dari:
1) Sel darah merah atau eritrosit (sekitar 99%).
Eritrosit tidak mempunyai nukleus sel ataupun organel, dan tidak dianggap sebagai sel dari segi biologi. Eritrosit mengandung hemoglobin dan mengedarkan oksigen. Sel darah merah juga berperan dalam penentuan golongan darah.
2) Trombosit (0,6 - 1,0%)
Trombosit bertanggung jawab dalam proses pembekuan darah.
3) Sel darah putih atau leukosit (0,2%)
Leukosit bertanggung jawab terhadap sistem imun tubuh dan berfungsi untuk memusnahkan benda-benda yang dianggap asing dan berbahaya oleh tubuh, misal virus atau bakteri. Leukosit bersifat amuboid atau tidak memiliki bentuk yang tetap.
Sel darah putih atau leukosit adalah sel yang membentuk komponen darah. Sel darah putih ini berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh. Sel darah putih tidak berwarna, memiliki inti,dapat bergerak secara amoebeid, dan dapat menembus dinding kapiler /diapedesis Normalnya kita memiliki 4x109 hingga 11x109 sel darah putih dalam seliter darah manusia dewasa yang sehat - sekitar 7000-25000 sel per tetes. Dalam kasus leukemia, jumlahnya dapat meningkat hingga 50000 sel per tetes

6. Patofisiologi
Penyakit Hodgkin biasa diklasifikasikan berdasarkan pada kriteria patologi yang mencerminkan derajat keganasan dan mengarah pada prognosisnya. Apabila limfosit mendominasi, misalnya dengan sel Reed-Stenberg dan keterlibatan minimal nodus, prognosisnya jauh lebih baik dari pada jika jumlah limfositnya rendah dan semua nodus limfe digantikan oleh sel tumor jenis primitive. Kebanyakan pasien (dengan kondisi yang disebut “sklerosis noduler dan selularitas campuran”) berada dalam posisi antara jumlah dan sifat merusak sel tumornya, derajat respon terhadap terapi, dan prognosis keseluruhan. (Suzanne C Smeltzer, 2002)

7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis limfoma Hodgkin antara lain:
a. Limfadenopati dengan konsistensi rubbery dan tidak nyeri
b. Demam, tipe Pel-Ebstein
c. Hepatosplenomegali
d. Neuropati.(Sumantri, 2006)
e. Pembesaran nodus limfe tanpa nyeri, pada salah satu sisi leher yang menjadi sangat besar. Selanjutnya nodus limfe di daerah lain, biasanya disisi leher sebelahnya, juga membesar dengan cara yang sama.
f. Terjadi anemia progresif, Jumlah lekosit biasanya tinggi, dengan jumlah polimorfinuklear (PMN) yang meningkat secara abnormal dan peningkatan jumlah eosinofil.
g. Demam tinggi, akibat keterlibatan mediastinal dan abdominal suhunya bisa sampai 400C (1010F) selama periode waktu 3-14 hari. Kemudian normal dalam beberapa minggu.
h. Apabila penyakit tidak ditangani, perjalanannya akan berlanjut; pasien akan kehilangan berat badan dan menjadi cacheksia (kelemahan secara fisik), terjadi infeksi, timbul edema anasarka, tekanan darah menurun, dan kematian pasti terjadi dalam 1 sampai 3 tahun tanpa penanganan. (Suzanne C Smeltzer, 2002)

8. Test diagnostik
a. Laboratorium
1) Pemeriksaan darah : anemia, eosinofilia, peningkatan laju endap darah pada flow cytometry dapat terdeteksi limfosit abnormal dan limfositosis dalam sirkulasi
2) Pemeriksaan faal hati : terdapat gangguan faal hati yang tidak sejalan dengan keterlibatan limfoma dalam hati.
3) Pemeriksaan faal ginjal : peningkatan kreatinin dan ureum dapat diakibatkan obstruksi ureter, adanya neuropati dan hiperkalsemi dapat memperberat fungsi ginjal.
b. Biopsi sumsum tulang
Dilakukan pada stadium lanjut untuk keperluan staging, keterlibatan sumsum tulang pada limfoma hodgkin sulit didiagnosis dengan aspirasi sumsum tulang.
c. Radiologis
1) Foto thorax
2) USG abdomen
3) CT scan thorax
4) CT scan abdomen. (Sumantri, 2006)

9. Pentahapan (Stagging)
Penentuan staging sangat penting untuk terapi dan menilai prognosis. Stagging dilakukan menurut Costwolds (1990) yang merupakan modifikasi dari klasifikasi Ann Arbor (1971)
Stadium I keterlibatan dari satu region kelenjar getah bening atau struktur jaringan limfoid (limpa, timus, cincin Waldeyer) atau keterlibatan satu organ ekstralimfatik.
Stadium II keterlibatan dari ≥2 region kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama (kelenjar hilus bila terkena pada kedua sisi termasuk stadium II); keterlibatan lokal 1 organ ekstranodal atau 1 tempat dan kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama (IIE). Jumlah region anatomik yang terlibat ditulis dengan angka (contoh : II3)
Stadium III keterlibatan region kelenjar getah bening pada kedua sisi diafragma (III), dapat disertai lien (IIIs), atau keterlibatan satu organ ekstranodal (IIIE) atau keduanya (IIISE)
III1 dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bening splenik, hilar, seliak atau portal
III2 dengan keterlibatan kelenjar getah bening paraaorta, iliaka dan mesentrika
Stadium IV keterlibatan difus/diseminata pada satu atau lebih organ ekstranodal atau jaringan dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bening.(Sumantri, 2006)
10. Terapi
a. Pengobatan limfoma hodgkin adalah radioterapi dan kemoterapi, tergantung dari staging (Clinical stage = CS) dan faktor risiko. Radioterapi meliputi Extended Field Radiotherapy (EFRTI), Involved Field Radiotherapy (IFRT) dan radioterapi (RT)
b. Terapi lain penyakit hodkin yang masih diteliti adalah :
Imunoterapi dengan antibody monoclonal anti CD20- , imunotoksin anti CD25 , bispesifik monoclonal antibody CD16/CD30 bispesifik antibody dan radio immunoconjugates.(Sumantri, 2006)
11. Prognosis
Komplikasi iradiasi yang muncul bergantung kepada tempat,, doisis dan volume, serta umur pada waktu terapi. Antara Lain :
a. Iradiasi supradiafragma dapat menyebabkan restriksi kapasitas paru, disfungsi jantung, kanker payudara awitan-lambat, atau hipertiroidisme
b. Iradasi pelvis dapat menyebabkan menyebabkan sterilitas meskipun ovarium dan testis dilindungi. Pada anak kecil pertumbuhan kolumna vertebralis, klavikula, dan tunas payudara dapat dipengaruhi

B. KONSEP KEPERAWATAN
Asuhan keperawatan adalah faktor penting dalam survival pasien dalam aspek-aspek pemeliharaan, rehabilitative dan preventif perawatan kesehatan.
Didalam memberikan asuhan keperawatan terdiri dari beberapa tahap atau langkah-langkah proses keperawatan yaitu : pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi.( Marylin E. Dongoes, 2000)
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantung pada pengumpulan data. Tahap ini terbagi atas :
a. Biodata
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, pekerjaan, alamat, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, nomor registrasi dan diagnosa medis.
Identitas penanggung jawab meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, alamat dan hubungan dengan klien.
b. Keluhan utama
Keluhan yang dirasakan klien sehingga klien datang ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat kesehatan klien yang memuat kapan timbulnya penyakit dan bagaimana perjalanannya serta menguraikan keluhan utama dengan menggunakan PQRST. Provocative(P),Quality(Q),Region (R),Severity (S),Time (T)
2) Riwayat kesehatan masa lalu
Riwayat kesehatan yang berkaitan dengan penyakit sebelumnya
3) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat kesehatan yang berkaitan dengan penyakit yang diderita oleh keluarga.
d. Data dasar
1) Aktivitas / Istirahat
Gejala :
Kelemahan/keletihan
Kehilangan produktivitas dan penurunan toleransi latihan.
Kebutuhan tidur dan istirahat lebih banyak
Tanda: Penurunan kekuatan, bahu merosot, jalan lamban, dan tanda lain yang menunjukkan kelelahan.
2) Sirkulasi
Gejala : Palpitasi, angina/nyeri dada
Tanda : Tacikardia, disritmia
Sianosis wajah, dan leher ( obstuksi drainase vena karena pembesaran nodus limfa adalah kejadian yang jarang )
Ikterus sclera dan ikterik umum sehubungan dengan kerusakan hati dan obstrusi duktus empedu oleh pembesaran nodus limfa (mungkin tanda lanjut)
Pucat (anemia), keringat malam
3) Integritas ego
Gejala : faktor stress, misalnya sekolah.
Takut/ansietas sehubungan dengan diagnosis dan kem ungkinan takut mati.
Ansietas/takut sehubungan dengan tes diagnostik dan modalitas pengobatan (kemoterapi dan terapi radiasi)
Tanda : Berbagai perilaku, misalnya., marah dan menarik diri.
4) Eliminasi
Gejala : Perubahan karakteristik urine dan/ atau feces
Riwayat obstruksi usus, contoh intususepsi, atau sindrom malabsorpsi (infiltrasi dan nodus limfa retroperitoneal)
Tanda :Nyeri tekan pada kuadran kanan atas dan pembesaran pada palpasi (hepatomegali)
Nyeri tekan pada kuadran kiri atas dan pembesaran pada palpasi (splenomegali)
Penurunan keluaran urine,urine gelap/pekat, anorea(obstruksi uretral/gagal ginjal)
Disfungsi usus dan kandung kemih
5) Makanan/cairan
Gejala : Anoreksia atau kehilangan nafsu makan
Disfagia (tekanan pada esophagus)
Adanya penurunan berat badan yang tak dapat dijelaskan sama dengan 10% atau lebih dari berat badan dalam 6 bulan sebelumnya dengan tanpa upata diet
Tanda :Pembengkakan pada wajah, leher, rahang atau tangan kanan (sekunder terhadap kompresi vena kava superior oleh pembesaran nodus limfa
Ekstremitas : edema ekstremitas bawah sehubungan sengan obstruksi vena kava inferior dari pembesaran nodus limfa intraabdominal (non-hodgkin)
Asites ( obstruksi vena kava imferior sehubungan dengan pembesaran nodus limfa intraabdominal)
6) Neurosensori
Gejala :Nyeri saraf (neuralgia) menunjukkan kompresi akar saraf oleh pembesaran nodus limfa pada brakial, lumbal, dan pleksus sacral
Kelemahan otot, parastesia
Tanda : Status mental ; letargi, menarik diri, kurang minat umum terhadap sekitar
Paraplegia (kompresi batang spinal dari tubuh vertebral, keterlibatan diskus kompresi/degenerasi, atau kompresi suplai darah terhadap batang spinal)
7) Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri tekan/nyeri pada nodus limfa yang terkena, misalnya., pada sekitar mediastinum. Nyeri dada, nyeri punggung (kompresi vertebral); nyeri tulang umum (keterlibatan tulang limfomatus)
Nyeri segera pada area yang terkena setelah minum alkohol
Tanda : Fokus pada diri sendiri; perilaku berhati-hati
8) Pernafasan
Gejala : Dispnea pada kerja atau istirahat; nyeri dada
Tanda : Dispnea; takikardia
Batuk kering non-produktif
Tanda distress pernafasan
Paru/paralisis laryngeal (tekanan dari pembesaran nodus pada saraf laryngeal).
9) Keamanan
Gejala : riwayat sering/adanya infeksi (abnormalitas imunitas seluler pencetus untuk infeksi virus herpes sistemik, TB, toksoplasmosis, atau infeksi bacterial)
Riwayat monukleus (resiko tinggi penyakit Hodgkin)
Pola sabit adalah peningkatan suhu tubuh pada malam hari berakhir sampai beberapa minggu (demam pel ebstein)
Kemerahan/pruritus umum
Tanda : Demam menetap tak dapat di jelaskan lebih tinggi dari 380C
Tanpa gejala infeksi
Nodus limfa simetris tidak nyeri,membengkak/membesar
nodus dapat terasa kenyal dan keras, diskret dan dapat digerakkan
Pembesaran tonsil
Pruritus umum
Sebagian area kehilangan pigmentasi melanin (vitiligo)

3. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri yang berhubungan dengan penekanan diagnosis, terapi, efek fisiologi neoplasia.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan kehilangan selera makan.
c. Resiko infeksi yang berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh
d. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
e. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuscular (neuropati).
f. Perubahan membran mukosa yang berhubungan dengan pemberian agen kemoterapi
g. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan pemberian agen kemoterapi, radioterapi, dan imobilisasi. (Donna L. wong, 2002)

KTI Tumor Colon

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR MEDIK

1. Pengertian
Sel tumor ialah sel tubuh yang mengalami transformasi dan tumbuh secara autonom lepas dari kendali pertumbuhan sel normal sehingga sel ini berbeda dari sel normal dalam bentuk dan strukturnya (R. Sjamsuhidajat, Wim de’jong, 1998).
Tumor adalah suatu benjolan atau struktur yang menempati area tertentu pada tubuh, dan merupakan neoplasma yang dapat bersifat jinak atau ganas (FKUI, 2008)
Kanker adalah pertumbuhan sel abnormal yang cenderung menyerang jaringan disekitarnya dan menyebar ke organ tubuh lain yang letaknya jauh (Corwin, 2009)
Kanker kolon adalah pertumbuhan sel yang bersifat ganas yang tumbuh pada kolon dan menginvasi jaringan sekitarnya (Tambayong, 2000)
Dari beberapa pengertian diatas maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa kanker kolon adalah suatu pertumbuhan tumor yang bersifat ganas dan merusak sel DNA dan jaringan sehat disekitar kolon (usus besar).

2. Anatomi fisiologi
a. Anatomi Pencernaan
Saluran gastrointestinal berawal di rongga mulut, dan berlanjut ke esofagus dan lambung. Makanan disimpan sementara di lambung sampai disalurkan ke usus halus. Usus halus dibagi menjadi tiga bagian: duodenum, yeyunum dan ileum. Pencernaan dan penyerapan makanan berlangsung terutama di usus halus. Dari usus halus, makanan kemudian masuk ke usus besar yang terdiri dari kolon dan rektum. Organ tambahan pada sistem ini adalah hati, pankreas, kandung empedu, dan apendiks.
Seluruh saluran cerna terdiri dari beberapa lapisan jaringan: lapisan mukosa (untuk fungsi sekresi) yang terletak paling dalam; lapisan jaringan ikat submukosa; lapisan otot polos sirkular dan longitudinal yang disebut muskularis eksterna; dan membran serosa yang terletak paling luar yang disebut lapisan peritoneum (atau adventisial). Lapisan ini dihubungkan satu sama lain secara fisik dan melalui hubungan saraf.(Corwin,2009)b. Fisiologi :
Makanan mulai dicerna di mulut proses mengunyah, penghancuran makanan oleh gigi, metabolisme dibantu oleh ptyalin (produk kelenjar saliva), esofagus jika dalam keadaan istirahat berbentuk tabung dan akan mengembang bila dilalui oleh cairan atau makanan, esofagus menembus diafragma yang mempunyai spincter Cordia yang membantu mendorong makanan. Lambung jika dalam keadaan kosong berbentuk gepeng, pencernaan di lambung dibantu oleh HCl dan pepsin untuk pencernaan protein renin dan pencernaan susu. Fungsi motorik lambung terdiri atas penyimpanan, pencampuran, dan pengosongan cimus (makanan yang bercampur dengan sekret lambung) ke dalam duodenum. Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan absorbsi bahan-bahan nutrisi dan air. Dan usus besar mempunyai berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah mengabsorbsi air dan elektrolit yang sudah hampir lengkap pada kolon bagian kanan. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa faeces yang sudah dehidrasi sampai defekasi berlangsung.

3. Etiologi
Terdapat tiga etiologi utama kanker (Davey, 2006) yaitu
1. Diet: kebiasaan mengkonsumsi makanan yang rendah serat (sayur-sayuran, buah-buahan), kebiasaan makan makanan berlemak tinggi dan sumber protein hewani.
2. Kelainan kolon
a. Adenoma di kolon: degenerasi maligna menjadi adenokarsinoma.
b. Familial poliposis : polip di usus mengalami degenarasi maligna menjadi karsinoma.
c. Colitis ulserative
Penderita colitis ulserative menahun mempunyai resiko terkena karsinoma kolon
3. Genetik
Anak yang berasal dari orang tua yang menderita karsinoma kolon mempunyai frekuensi tiga setengah kali lebih banyak daripada anak-anak yang orang tuanya sehat (FKUI, 2001)

4. Insiden
Tumor ganas di usus kecil jarang ( 1 % dari semua kanker gastrointestinal) hal tersebut terjadi pada usia orang-orang yang lebih muda, sedangkan pada tumor ganas usus besar terjadi pada orang-orang yang lebih tua. Umur rata-rata 58 tahun dan terjadi pada laki-laki dan wanita hampir dalam jumlah yang sama, hampir setengah dari tumor-tumor itu dilaporkan dalam medical review.
Kanker colon lebih sering pada wanita, sedangkan lesi pada rektum lebh sering pada pria. Kira-kira 60 % dari semua kanker usus terjadi pada bagian rektosigmoid, sehingga dapat teraba pada pemeriksaan rektum atau terlihat pada sigmoidoskopi. Sekum dan kolon asendens merupakan tempat berikutnya yang paling sering diserang. Kolon tranversum dan fleksura merupakan bagi an yang memiliki kemungkinan terserang yang paling kecil.

5. Patofisiologi
Kebanyakan kanker usus besar berawal dari pertumbuhan sel yang tidak ganas atau disebut adenoma, yang dalam stadium awal membentuk polip (sel yang tumbuh sangat cepat). Pada stadium awal, polip dapat diangkat dengan mudah. Tetapi, seringkali pada stadium awal adenoma tidak menampakkan gejala apapun sehingga tidak terdeteksi dalam waktu yang relatif lama dan pada kondisi tertentu berpotensi menjadi kanker yang dapat terjadi pada semua bagian dari usus besar (Davey,2006).
Kanker kolon dan rektum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel usus). Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal dan meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke bagian tubuh yang lain (paling sering ke hati).(Brunner & Suddarth,)

6. Manifestasi klinis
Gejala sangat ditentukan oleh lokasi kanker, tahap penyakit dan fungsi segmen usus tempat kanker berlokasi. Adanya perubahan dalam defekasi, darah pada feses, konstipasi, perubahan dalam penampilan feses, tenesmus, anemia dan pendarahan rectal merupakan keluhan yang umum terjadi.
1. Kanker kolon kanan, dimana isi kolon berupa cairan, cenderung tetap tersamar hingga stadium lanjut. Sedikit kecenderungan menimbulkan obstruksi, karena lumen usus lebih besar dan feses masih encer. Anemia akibat perdarahan sering terjadi, dan darah bersifat samar dan hanya dapat dideteksi dengan tes Guaiak (suatu tes sederhana yang dapat dilakukan di klinik). Mucus jarang terlihat, karena tercampur dalam feses. Pada orang yang kurus, tumor kolon kanan mungkin dapat teraba, tetapi jarang pada stadium awal. Penderita ungkin mengalami perasaan tidak enak pada abdomen dan kadang-kadang pada epigastrium.
2. Kanker kolon kiri dan rectum cenderung menyebabkan perubahan defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks. Diare, nyeri kejang dan kembung sering terjadi. Karena lesi kolon kiri cenderung melingkar, sering timbul gangguan obstruksi. Feses dapat kecil dan berbentuk seperti pita. Baik mucus maupun darah segar sering terlihat pada feses. Dapat terjadi anemia akibat kehilangan darah kronik. Pertumbuhan pada sigmoid atau rectum dapat mengenai radiks saraf, pembuluh limfe atau vena, menimbulkan gejala-gejala pada tungkai atau perineum. Hemoroid, nyeri pinggang bagian bawah, keinginan defekasi atau sering berkemih dapat timbul sebagai akibat tekanan pada alat-alat tersebut. Gejala yang mungkin dapat timbul pada lesi rectal adalah evakuasi feses yang tidak lengkap setelah defekasi, konstipasi dan diare bergantian, serta feses berdarah ( Gale,2000).


7. Pemeriksaan penunjang
a. Endoskopi : pemeriksaan endoskopi perlu dilakukan baik sigmoidoskopi maupun kolonoskopi.
b. Radiologis : pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan antara lain adalah foto dada dan foto kolon (barium enema). Foto dada dilakukan untuk melihat apakah ada metastasis kanker ke paru.
c. Ultrasonografi (USG) : sulit dilakukan untuk memeriksa kanker pada kolon,tetapi digunakan untuk melihat ada tidaknya metastatis kanker ke kelenjar getah bening di abdomen dan hati.
d. Histopatologi : biopsy digunakan untuk menegakkan diagnosis. Gambar histopatologis karsinoma kolon adlah adenokarsinoma dan perlu ditentukan diferensiansi sel.
e. Laboratorim : pemeriksaan Hb penting untuk memeriksa kemungkinan pasien mengalami perdarahan (FKUI,2001).
8. Penatalaksanaan Medis
Bila sudah pasti karsinoma kolon, maka kemungkinan pengobatan adalah sebagai berikut :
1. Pembedahan ( Operasi )
Operasi adalah penanganan yang paling efektif dan cepat untuk tumor yang diketahui lebih awal dan masih belum metastasis, tetapi tidak menjamin semua sel kanker telah terbuang. Oleh sebab itu
dokter bedah biasanya juga menghilangkan sebagian besar jaringan sehat yang mengelilingi sekitar kanker.
2. Penyinaran (Radioterapi)
Terapi radiasi memakai sinar gelombang partikel berenergi tinggi misalnya sinar X, atau sinar gamma, difokuskan untuk merusak daerah yang ditumbuhi tumor, merusak genetic sehingga membunuh kanker. Terapi radiasi merusak sel-sel yang pembelahan dirinya cepat, antara lain sel kanker , sel kulit,sel dinding lambung dan usus, sel darah. Kerusakan sel tubuh menyebabkan lemas, perubahan kulit dan kehilangan nafsu makan.
3. Kemotherapy
Kemotherapy memakai obat antikanker yang kuat, dapat masuk kedalam sirkulasi darah, sehingga sangat bagus untuk kanker yang telah menyebar. Obat kemotherapy ini ada kira-kira 50 jenis. Biasanya di injeksi atau dimakan, pada umumnya lebih dari satu macam obat, karena digabungkan akan memberikan efek yang lebih bagus. (FKUI,2001).

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses keperawatan. Dalam mengkaji, harus memperhatikan data dasar pasien. Informasi yang didapat dari klien (sumber data primer), data yang didapat dari orang lain (sumber data sekunder), catatan kesehatan klien, informasi atau laporan laboratorium, tes diagnostik, keluarga dan orang terdekat atau anggota tim kesehatan lain merupakan pengkajian data dasar. (A.Azis Alimul Hidayat,2002)
Pengkajian pasien Post Operatif Ca Colon (Doenges,1999) adalah meliputi :
a. Aktivitas/Istirahat
1) Gejala :
Kelemahan,dan/atau keletihan
Perubahan pada pola istirahat dan jam kebiasaan tidur pada malam hari; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur misalnya nyeri, ansietas.
b. Sirkulasi
1) Tanda :
Takikardia (respon terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi, dan nyeri).
Kulit/membran mukosa: Turgor buruk, kering, lidah pecah-pecah (dehidrasi/malnutrisi).
c. Integritas Ego
1) Gejala :
Ansietas, ketakutan, emosi kesal, misalnya perasaan tidak berdaya/ tak ada harapan.
Faktor stres akut/kronis misalnya hubungan dengan keluarga/pekerjaan, pengobatan yang mahal.
1) Tanda :
Menolak, perhatian menyempit, depresi.
d. Eliminasi
1) Gejala :
Perubahan pada pola defekasi misal, darah pada feses, nyeri pada defekasi.
2) Tanda :
Perubahan pada bising usus, distensi abdomen
e. Makanan/Cairan
1) Gejala :
Kebiasaan diet buruk (misal rendah serat, tinggi lemak, aditif, bahan pengawet)
Anoreksia, mual/muntah.
Intoleransi makanan
Peubahan berat badan; penurunan berat badan hebat, kaheksia, berkurangnya massa otot.
2) Tanda:
Perubahan pada kelembaban/turgor kulit; edema
f. Neurosensori
1) Gejala:
Pusing; sinkope


g. Nyeri/Kenyamanan
1) Gejala:
Tidak ada nyeri, atau derajat bervariasi misal, ketidaknyamanan ringan sampai nyeri berat. (dihubungkan dengan proses penyakit).
h. Higiene
1) Tanda:
Ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri.
Stomatitis menunjukkan kekurangan vitamin
i. Interaksi sosial
1) Gejala :
Masalah hubungan/ peran sehubungan dengan kondisi
Ketidakmampuan aktif dalam sosial
j. Penyuluhan/Pembelajaran
1) Gejala :
Riwayat kanker pada keluarga


DAFTAR PUSTAKA


Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi : Edisi Revisi 3, EGC : Jakarta

Depkes.(2009).
(http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=wiewartide&sid=3328&itemid? (diakses 30 Agustus 2009)

Doenges, E. Marylinn. (2000) . Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, EGC : Jakarta

Guyton & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC : Jakarta

Hidayat A. alimul Azis, (2002). Dokumentasi Proses Keperawatan, EGC : Jakarta

Info sehat,(2009).
http://www.Info-sehat.com/content.phps_sid, (diakses 30 Agustus 2009)

Long Barbara, C . (1996). Perawatan Medikal Bedah edisi 3. Jakarta : EGC

Mansjoer, Arief. (2002). Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Media Aesculapius FKUI : Jakarta

R. Sjamsuhidajat, Wim de jong. (1998). Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi Revisi. EGC: Jakarta

Scribd.(2009). Asuhan Keperawatan Klien dengan Carsinoma Colon
(http://www.scribd.com/doc/15814138/ASUHAN-KLIEN DENGAN-CARSINOMA-COLON-CA-COLON, (diakses 29 Agustus 2009)

Smeltzer & Bare. (2002) . Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 . Vol. 3 Jakarta: EGC


Tambayong, Jan (2000). Patofisiologi untuk Keperawatan : EGC : Jakarta

KTI Ikterus obstruktif

BAB II
TINJAUAN TEORITIS


A. Konsep Dasar Medis
1. Defenisi
Ikterus adalah perubahan warna jaringan menjadi kuning akibat adanya penimbunan empedu dalam tubuh,yang biasanya dapat di deteksi pada sklera, kulit, atau urine yang menjadi gelap bila bilirubin serum mencapai 2-3 mg/dl, bilirubin serum normal adalah 0,3-1,0 mg/dl. (Price & Wilson, 2006)
Ikterus obstruktif itu sendiri adalah ikterus yang disebabkan oleh obstruksi sekresi bilirubin yang dalam keadaan normal seharusnya dialirkan ke traktus gastrointestinal. Akibat hambatan tersebut terjadi regurgitasi bilirubin ke dalam aliran darah, sehingga terjadilah ikterus (Anonim, 2008).
Ikterus obstruktif adalah kegagalan aliran bilirubin ke duodenum, dimana kondisi ini akan menyebabkan perubahan patologi di hepatosit dan ampula vateri (Sherly, 2008).
Dengan demikian, ikterus obstruktif merupakan jaundice atau kekuningan yang disebabkan oleh obstruksi yang menghalangi bilirubin mengalir ke jejunum

2. Etiologi
Ikterus obstruktif dapat bersifat intrahepatik ( mengenai sel hati ) dan ekstrahepatik ( mengenai saluran empedu di luar hati). Pada kedua keadaan ini terdapat gangguan biokimia yang serupa.
a. Ikterus obstruktif intrahepatik
Penyebab tersering ikterus obstruktif intrahepatik adalah penyakit hepatoseluler dengan kerusakan sel parenkim hati akibat hepatitis virus atau berbagai jenis sirosis. Pada penyakit ini, pembengkakan dan disorganisasi sel hati dapat menekan dan menghambat kanalikuli atau kolangiola. Penyakit hepatoseluler biasanya mengganggu semua fase metabolisme bilirubin ambilan, konjugasi, dan ekskresi, tetapi ekskresi biasanya paling terganggu, sehingga yang paling menonjol adalah hiperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab ikterus obstruktif intrahepatik yang lebih jarang adalah pemakaian obat-obat tertentu, dan gangguan herediter Dubin Jhonson serta sindrom Rotor (jarang terjadi). Pada kedaan ini terjadi gangguan transfer bilirubin melalui membran hepatosit yang menyebabkan terjadinya retensi bilirubin dalam sel, obat yang sering mencetuskan gangguan ini adalah halotan (anestetik), kontrasepsi oral, estrogen, steroid anabolik, isoniazid, dan klorpromazin.
b. Ikterus obstruktif ekstrahepatik
Penyebab tersering ikterus obstruktif ekstrahepatik adalah sumbatan batu empedu, biasanya pada ujung bawah duktus koledokus; karsinoma kaput pankreas manyebabkan tekanan pada duktus koledokus dari luar; demikian juga dengan karsinoma ampula vateri. Penyebab yang lebih jarang adalah ikterus pasca peradangan atau setelah operasi, dan pembesaran kelenjar limfe pada porta hepatis. Lesi intrahepatik seperti hepatoma kadang-kadang dapat menyumbat duktus hepatikus kanan atau kiri. (Price & Wilson, 2006)

3. Insiden
a. Ikterus obstruktif intrahepatik
1) Hepatitis A (HAV) : Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak atau terjadi akibat kontak dengan orang terinveksi melalui kontaminasi feces pada makanan atau air minum.
2) Hepatitis B (HBV) : Infeksi terutama terjadi pada usia dewasa
3) Hepatitis C (HCV) : Diyakini terutama ditularkan melalui parenteral dan kemungkinan melalui pemakaian obat IV dan tranfusi darah.
4) Hepatitis D (HDV) : Terutama menyerang pengguna obat melalui intravena.
5) Hepaitis E (HEV) : Penyakit ini paling sering menyerang usia dewasa muda sampai petengahan.
6) Hepatitis F dan G (HFV dan HGV) : Walaupun telah di klasifikasikan denagn nama HFV, namun belum dipastikan bahwa virus hepatitis F benar-benar ada. Kelompok yang beresiko tertular HGV adalah individu yang telah menjalani tranfusi darah, tertusuk jarum suntik secara tidak sengaja, pengguna obat intravena dan pasien hemodialisis.
b. Ikterus obstruktif ekstrahepatik
Penyebab tersering ikterus obstruktif ekstrahepatik adalah sumbatan batu empedu. Jumlah wanita yang menderita batu kolesterol dan penyakit kandung empedu adalah empat kali lebih banyak dari pada laki-laki. Biasanya wanita tersebut berusia lebih dari 40 tahun, multípara dan obesitas. Insidens pembentukan batu empedu meningkat pada para pengguna pil kontrasepsi, estrogen dan klofibrat yang diketahui meningkatkan saturasi kolesterol bilier. Insidens pembentukan batu meningkat bersamaan dengan pertambahan umur. Peningkatan insidens ini terjadi akibat bertambahnya sekresi kolesterol oleh hati dan menurunnya síntesis asam empedu. Disamping itu resiko terbentuknya batu empedu juga meningkat akibat malabsorpsi garam-garam empedu pada klien dengan penyakit gastrointestinal atau fistula T-tube atau pada pasien yang pernah menjalani operasi pintasan atau reseksi ileum. Insidens ini juga meningkat pada para penyandang penyakit diabetes. (Smeltzer & Bare, 2002 )

4. Anatomi fisiologi sistem pencernaana. Stomach (Lambung)
Lambung merupakan bagian dari saluran gastrointestinal (GI) bagian atas abdomen sebelah kiri dari garis tengah tubuh, tepat di bawah diafragma kiri. Lambung adalah suatu kantung yang dapat berdistensi dengan kapasitas kira-kira 1500 ml. Inlet lambung disebut pertemuan esofagogastrik. Bagian ini dikelilingi oleh cincin dan otot halus disebut sfingter esofagus bawah (atau sfingter kardia), yang pada saat kontraksi, menutup lambung dari esofagus. Lambung dapat dibagi dalam ke dalam empat bagian anatomis : kardia (jalan masuk), fundus, dan pilorus (outlet). Otot halus sirkuler di dinding pilorus membentuk sfingter piloris dan mengontrol lubang diantara lambung dan usus halus.
b. Duodenum
Duodenum merupakan bagian atas dari usus halus. Sedangkan usus halus sendiri adalah segmen paling panjang dari saluran GI, yang jumlah panjangnya kira-kira dua pertiga dari panjang total saluran. Bagian ini membalik dan melipat diri yang memungkinkan kira-kira 7000 cm area permukaan untuk sekresi dan absorpsi. Usus halus dibagi kedalam tiga bagian anatomik: bagian atas, disebut duodenum; bagian tengah disebut yeyenum; dan bagian bawah disebut ileum. Duktus koledokus yang memungkinkan untuk saluran baik empedu dan sekresi pankreas, untuk mengosongkan diri kedalam duodenum pada ámpula Vater.
c. Liver (Hati)
Hati, yang merupakan organ terbesar tubuh, dapat dianggap sebagai sebuah pabrik kimia yang membuat, menyimpan, mengubah dan mengekskresikan sejumlah besar substansi yang terlibat dalam metobolisme. Hati terletak di belakang tulang-tulang iga (kosta) dalam rongga abdomen daerah kanan atas. Hati memiliki berat sekitar 1500 gram,dan dibagi menjadi 4 lobus. Setiap lobus terbungkus oleh lapisan tipis jaringan ikat yang membentang ke dalam lobus dan membagi massa hati menjadi unit-unit yang lebih kecil, disebut lobulus.
d. Gallbladder (Kandung Empedu)
Kandung empedu (vesika felea) merupakan organ berbentuk seperti buah pir, berongga dan menyerupai kantong dengan panjang 7,5 hingga 10 cm, terletak dalam suatu cekungan yang dangkal pada permukaan inferior hati di mana organ tersebut terikat pada hati oleh jaringan ikat yang longgar. Kapasitas kandung empedu adalah 30 hingga 50 ml empedu. Dindingnya terutama tersusun dari otot polos. Kandung empedu dihubungkan dengan duktus koledokus lewat duktus sistikus. Adapun fungsi kandung empedu adalah sebagai depot penyimpanan bagi empedu. Di antara saat-saat makan, ketika sfingter Oddi tertutup, empedu yang diproduksi oleh hepatosit akan memasuki kandung empedu. Selama penyimpanan, sebagian besar air dalam empedu diserap melalui dinding kandung empedu sehingga empedu dalam kandung empedu lebih pekat lima hingga sepuluh kali dari konsentrasi saat disekresikan pertama kalinya oleh hati. Ketika makanan masuk ke dalam duodenum akan terjadi kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi yang memungkinkan empedu mengalir masuk ke dalam intestinum. Respon ini diantarai oleh sekresi hormon kolesistokinin-pankreozimin (CCK-PZ) dari dinding usus. (Smeltzer & Bare, 2002 )

5. Patofisiologi
a. Ikterus Obstruktif intrahepatik
Pada penderita hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, dan hepatitis D yaitu masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh melalui membran mukosa/merusak kulit untuk mencapai hati. Di hati replikasi 2–6 minggu/sampai 6 bulan penjamu mengalami gejala. Beberapa infeksi tidak terlihat untuk yang mengalami gejala : tingkat kerusakan hati dan hubungannya dengan demam yang diikuti dengan kekuningan, artritis, nyeri perut dan mual. Pada kasus yang ekstrim dapat terjadi kerusakan pada hati (hepatomegali).
b. Ikterus Obstrukif Ekstrahepatik
Ada dua tipe utama batu empedu yaitu batu yang terutama tersusun dari pigmen dan batu yang terutama dari kolesterol.
1) Batu Pigmen
Kemungkinan akan terbentuk bila pigmen yang tak terkonjugasi dalam empedu mengadakan presipitasi (pengendapan) sehingga terjadi batu. Batu ini bertanggung jawab atas sepertiga dari klien-klien batu empedu di Amerika Serikat. Resiko terbentuknya batu semacam ini semakin besar pada pasien serosis, hemolisis dan infeksi percabangan bilier. Batu ini tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi.
2) Batu kolesterol
Kolesterol yang merupakan unsur normal pembentuk empedu yang bersifat tidak larut dalam air. Kelarutannya bergantung pada asam-asam empedu dan lesitin (fosfolipid) dalam empedu. Pada klien yang cenderung menderita batu empedu akan terjadi penurunan síntesis asam empedu dan peningkatan sistesis kolesterol dalam hati, keadaan ini mengakibatkan supersaturasi getah empedu oleh kolesterol yang kemudian keluar dari getah empedu, mengendap dan membentuk batu. Getah empedu yang jenuh oleh kolesterol merupakan predisposisi untuk timbulnya batu empedu dan berperan sebagai iritan yang menyebabkan peradangan dalam kandung empedu.

6. Manifestasi klinik
a. Ikterus obstruktif intrahepatik
Terdapat tiga fase :
1) Fase pra-ikterik
Periode dimana infektivitas paling besar. Gejala meliputi mual, muntah, diare, konstipasi, penurunan berat badan, malaise, sakit kepala, demam ringan, sakit sendi, ruam kulit.
2) Fase ikterik-jaundice (temuan paling menonjol).
Urine gelap berkabut (disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin), hepatomegali dengan nyeri tekan, pembesaran nodus limfa, pruritus (akibat akumulasi garam empedu pada kulit); gejala fase pra-ikterik berkurang sesuai menonjolnya gejala.
3) Fase pasca ikterik.
Gejala sebelumnya berkurang tetapi kelelahan berlanjut; empat bulan diperlukan untuk pemulihan komplit.
b. Ikterus Obstruktif Ekstrahepatik
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua jenis gejala yaitu gejala yang disebabkan oleh kandung empedu sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis seperti:
1) Gangguan epigrastrium seperti rasa penuh, distensi abdomen dan nyeri yang samar pada kuadran kanan. Gejala ini dapat terjadi setelah individu mengkonsumsi makanan yang berlemak atau digoreng.
2) Rasa nyeri dan kolik bilier.
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Klien akan menderita panas dan mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas yang menjalar ke punggung atau bahu kanan; rasa nyeri ini biasanya disertai dengan mual dan muntah dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam sesudah makan makanan dalam porsi besar.
3) Ikterus
Ikterus dapat dijumpai di antara penderita penyakit kandung empedu dengan persentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus. Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan gejala yang khas yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa ke duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang mencolok pada kulit
4) Perubahan warna urine dan feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu dan biasanya pekat yang disebut “clay-colored”
5) Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mengganggu abosorpsi vitamin A,D,E dan K yang larut lemak. Karena itu pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-vitamn ini jika obstruksi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin A dapat menggangu pembekuan darah yang normal. (Smeltzer & Bare, 2002 )

7. Pemeriksan diagnostik
a. Ikterus Obstruktif Intrahepatik
1) Tes fungsi hati : Abnormal (4-10 kali dari normal). Catatan : Merupakan batasan nilai untuk membedakan hepatitis virus dari non virus.
2) AST (SGOT)/ALT(SGPT) : Awalnya meningkat. Dapat meningkat dalam 1-2 minggu sebelum ikterik kemudian tampak menurun.
3) Darah lengkap : SDM menurun sehubungan dengan penurunan hidup SDM (gangguan enzim hati) atau mengakibatkan perdarahan.
4) Leukopenia : Trombositopenia mungkin ada (splenomegali).
5) Diferensial darah lengkap : Leukositosis, monositosis, limfosit atipikal, dan sel plasma.
6) Alkali fosfatase : Agak meningkat (kecuali ada kolestasis berat).
7) Feces : Warna tanah liat, steatorea (penurunan fungsi hati).
8) Albumin serum : Menurun.
9) Gula darah : Hiperglikemia transien/hipoglikemia (gangguan fungsi hati).
10) Anti HAV IgM : Positif pada tipe A.
11) HbsAG : Dapat positif (tipe B) atau negatif (tipe A).
12) Masa protrombin : Mungkin memanjang (disfungsi hati).
13) Bilirubin serum : Diatas 2,5 mg/100 ml (bila diatas 200 mg/ml, prognosis buruk mungkin berhubungan dengan peningkatan nekrosis seluler).
14) Biopsi hati : Menunjukkan diagnosis dan luasnya nekrosis.
15) Skan hati : Membantu dalam perkiraan beratnya kerusakan parenkim.
16) Urinalisa : Peninggian kadar bilirubin; protein/hematuri dapat terjadi.
b. Ikterus Obstruktif Estrahepatik
1) Foto polos abdomen.
Pada pemeriksaan ini diharapkan dapat melihat batu dikandung empedu atau di duktus koledokus. Kadang-kadang pemeriksaan ini dipakai untuk skrening, melihat keadaan secara keseluruhan dalam rongga abdomen.
2) Ultrasonografi (USG).
Ultrasonografi sangat berperan dalam mendiagnosa penyakit yang menyebabkan kholestasis. Pemeriksaan USG sangat mudah melihat pelebaran duktus biliaris intra/ekstra hepatal sehingga dengan mudah dapat mendiagnosis apakah ada ikterus obstruksi atau ikterus non obstruksi. Apabila terjadi sumbatan daerah duktus biliaris yang paling sering adalah bagian distal maka akan terlihat duktus biliaris komunis melebar dengan cepat yang kemudian diikuti pelebaran bagian proximal.
3) Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP).
ERCP merupakan tindakan yang langsung dan invasif untuk mempelajari traktus biliaris dan sistem duktus pankreatikus. Ditangan yang berpengalaman ERCP mempunyai keberhasilan yang cukup tinggi dan tingkat keakuratan atau ketepatan kurang lebih 90%.
4) Magnetic Resonance Cholangiopancreaotography (MRCP)
MRCP adalah pemeriksaan duktus biliaris dan duktus pankreatikus dengan memakai pesawat MRI. Dengan memakai heavily T2W acquisition untuk memaksimalkan signal dari cairan yang menetap pada duktus biliaris dan duktus pankreatikus.
5) Percutaneus Transhepatik Cholangiography (PTC)
PTC merupakan sarana diagnosis invasif untuk membedakan ikterus obstruktif ekstra dan intra hepatik serta menentukan lokasi sumbatan dan juga pada kebanyakan kasus etiologi dari pada obstruksi lainnya. Gambaran saluran empedu yang diperoleh PTC tidak hanya memberikan informasi mengenai saluran empedu tetapi juga mempermudah menduga penyebabnya, sehingga dapat menjadi pedoman bagi ahli bedah dalam perencanaan operasinya.
6) Percutaneus Transhepatic Billiary Drainage (PTBD)
Teknik sama dengan PTC hanya di sini kateter masuk sampai melampaui obstruksi dan bisa sampai duodenum. Lebih ke arah terapi, karena flow dan cairan empedu masuk ke dalam “side hole” dari kateter.
7) CT-Scan
Pemeriksaan CT Scan mengenai tractus biliaris banyak dilakukan untuk melengkapi data suatu pemeriksaan sonografi yang telah dilakukan sebelumnya. Secara khusus CT Scan dilakukan guna menegaskan tingkat atau penyebab yang tepat adanya obstruksi/kelainan pada saluran empedu. Dalam hal ini CT Scan dinilai untuk membedakan antara ikterus obstruktif, apakah intra atau ekstra hepatik dengan memperhatikan adanya dilatasi dari duktus biliaris.
8) Pemerisaan Laboratorium.
a) Peningkatan level bilirubin direk (terkonjugasi) (> 0,4 mg/ml), Normal = 0,1-0,3 mg/ml.
b) Peningkatan level bilirubin indirek (tak terkonjugasi) (> 0,8 mg/ml), Normal = 0,2-0,8 mg/ml.
c) Tidak adanya bilirubin dalam urin atau peningkatan bilirubin urin (konsentrasi tinggi dalam darah).
d) Peningkatan urobilinogen (> 4 mg/24 jam) tergantung pada kemampuan hati untuk mengabsorbsi urobilinogen dari sistem portal, Normal = 0-4 mg/hari.
e) Menurunnya urobilinogen fekal (< 40 mg/24 jam), Normal = 40-280 mg/hari, karena tidak mencapai usus.
f) Peningkatan alkalin fosfat dan level kolesterol karena tidak dapat diekskresi ke kandung empedu secara normal.
g) Pada kasus penyakit hati yang sudah parah, penurunan level kolesterol mengindikasikan ketidakmampuan hati untuk mensintesisnya.
h) Peningkatan garam empedu yang menyebabkan deposisi di kulit, sehingga menimbulkan pruritus.
i) Pemanjangan waktu PTT (Prothrombin Time) (> 40 detik) dikarenakan penurunan absorbsi vitamin K.

8. Penanganan medik
a. Ikterus Obstruktif Intrahepatik
Tidak terdapat terapi spesifik untuk hepetitis virus akut. Tirah baring selama fase akut penting dilakukan, dan diet rendah lemak dan tinggi karbohidrat umumnya merupakan makanan yang paling dapat dimakan oleh penderita. Pemberian makanan secara intravena mungkin perlu diberikan selama fase akut bila pasien terus menerus muntah. Aktifitas fisik biasanya perlu dibatasi hingga gejala mereda dan tes fungsi hati kembali normal.
b. Ikterus Obstruktif Ekstrahepatik
Operasi pengangkatan kandung empedu melalui pembedahan tradisional dianggap sebagai cara pendekatan yang baku dalam penatalaksanaan penyakit ini. Namun demikian, perubahan dramatis telah terjadi dalam penatalaksanaan bedah dan nonbedah terhadap penatalaksanaan kandung empedu.
1) Penatalaksanaan Nonbedah
a) Penatalaksanaan Pendukung dan Diet
Diet yang diterapkan segera setelah suatu serangan yang akut biasanya dibatasi pada makanan cair rendah lemak. Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk ke dalam susu skim. Makanan berikut ini ditambahkan jika pasien dapat menerimanya: buah yang dimasak, nasi atau ketela, daging tanpa lemak, kentang yang dilumatkan, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi atau teh.
Penatalaksanaan diet merupakan bentuk terapi utama pada pasien yang hanya mengalami intoleransi terhadap makanan berlemak dan mengeluhkan gejala gastrointestinal ringan.
b) Farmakoterapi
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk) telah digunakan untuk melarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol. Asam ursodeoksikolat dibandingkan dengan asam kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan dapat diberikan dengan dosis yang lebih kecil untuk mendapatkan efek yang sama. Mekanisme kerjanya adalah menghambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah empedu.
c) Pelarutan Batu Empedu
Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan menginfuskan suatu bahan pelarut (Monooktanion atau Metal Tertier Butil Eter (MTBE) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui jalur berikut ini : melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu; melaui selang atau drain yang dimasukan melalui saluran T-tube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan; melalui endoskop ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography); atau kateter bilier transnalas.
d) Pengangkatan Nonbedah
Beberapa metode nonbedah digunakan untuk mengeluarkan batu yang belum terangkat pada saat cholesistektomy atau yang terjepit dalam duktus koledokus. Sebuah kateter dan alat disertai jaring yang terpasang padanya disisipkan lewat saluran T-tube atau lewat fistule yang terbentuk pada saat insersi T-tube, jaring digunakan untuk memegang dan menarik keluar batu yang terjepit dalam duktus koledokus.
e) Extracorporeal Shock-Wafe Lithotripsy (ESWL)
Prosedur litotripsi atau ESWL ini telah berhasil memecah batu empedu tanpa pembedahan. Prosedur noninvasif ini menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves) kepada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus koledokus.
f) Litotripsi Intrakorporeal
Pada litotripsi intrakorporeal, batu yang ada dalam kandung empedu atau duktus koledokus dapat dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound, laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada endoskop, dan diarahkan langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris dikeluarkan dengan cara irigasi dan aspirasi.
2) Penatalaksanaan Bedah
Penanganan bedah pada penyakit kandung empedu dan batu empedu dilaksanakan untuk mengurangi gejala yang sudah berlangsung lama, untuk menghilangkan penyebab kolik bilier dan untuk mengatasi kolesistitis akut. Pembedahan dapat efektif kalau gejala yang dirasakan klien sudah mereda atau bisa dikerjakan sebagai suatu prosedur darurat bilamana kondisi pasien mengharuskannya.
a) Kolesistektomi
Kolesistektomi merupakan salah satu prosedur yang paling sering dilakukan, di Amerika lebih dari 600.000 orang menjalani pembedahan ini setiap tahunnya. Dalam prosedur ini, kandung empedu diangkat setelah arteri dan duktus sistikus diligasi.
b) Minikolesistektomi
Minikolesistektomi merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat insisi selebar 4 cm.
c) Kolesistektomi Laparoskopik (atau endoskopik)
Prosedur ini dilakukan lewat luka insisi yang kecil atau luka tusukan melalui dinding abdomen pada umbilikus. Pada prosedur kolesistektomi endoskopik, rongga abdomen ditiup dengan gas karbon dioksida (pneumoperitoneum) untuk membantu pemasangan endoskop dan menolong dokter bedah melihat struktur abdomen.
d) Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan batu.
e) Bedah Kolesistostomi
Kolesistostomi dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi yang lebih luas atau bila reaksi infalamasi yang akut membuat system bilier tidak jelas. (Smeltzer & Bare, 2002 )

B. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses keperawatan. Dalam mengkaji, harus memperhatikan data dasar pasien. Informasi yang didapat dari klien (sumber data primer), data yang didapat dari orang lain (sumber data sekunder), catatan kesehatan klien, informasi atau laporan laboratorium, tes diagnostik, keluarga dan orang terdekat atau anggota tim kesehatan lain merupakan pengkajian data dasar. (A.Azis Alimul Hidayat,2002)
Pengkajian pasien Post Operatif ikterus obstruktif (Doenges,2000) meliputi :
a. Aktifitas/Istirahat
1) Gejala :
a) Kelemahan, atau keletihan
b) Perubahan pada pola istirahat dan jam kebiasaan tidur pada malam hari; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur misalnya nyeri, ansietas, rasa gatal.
b. Sirkulasi
1) Tanda :
a) Takikardia (respon terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi, dan nyeri).
b) Kulit/membran mukosa: Turgor buruk, kering, lidah pecah-pecah (dehidrasi/malnutrisi).
c) Berkeringat
c. Eliminasi
1) Gejala
Perubahan warna urine dan feses.
2) Tanda
a) Distensi abdomen
b) Teraba massa pada kuadran kanan atas
c) Urine gelap, pekat
d) Feses berwarna seperti tanah liat
d. Makanan dan cairan
1) Gejala
a) Anoreksia, mual/muntah
b) Tidak toleran terhadap lemak dan makanan “pembentuk gas”; regurgitasi berulang, nyeri epigastrium, tidak dapat makan, flatus, dispepsia.
c) Bertahak
2) Tanda
Kegemukan, adanya penurunan berat badan.
e. Nyeri/kenyamanan
1) Gejala
a) Nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar ke punggung atau bahu kanan.
b) Kolik epigastrium tengah sehubungan dengan makan.
c) Nyeri mulai tiba-tiba dan biasanya memuncak dalam 30 menit.
2) Tanda
Nyeri lepas, otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan.
f. Pernafasan
1) Tanda
a) Peningkatan frekuensi pernafasan
b) Pernafasan tertekan ditandai oleh nafas pendek, dangkal.
g. Keamanan
1) Tanda
a) Demam, menggigil
b) Ikterik dengan kulit berkeringat dan gatal ( pruritus )
c) Kecendrungan perdarahan ( kekurangan vitamin K )
h. Penyuluhan dan pembelajaran
1) Gejala
a) Kecendrungan keluarga untuk terjadi batu empedu.
b) Adanya kehamilan atau melahirkan; riwayat DM, penyakit inflamasi usus, diskrasias darah
2) Rencana pemulangan
Memerlukan dukungan dalam perubahan diet atau penurunan berat badan3. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien post op ikterus obstruktif adalah sebagai berikut :
a. Nyeri.
b. Gangguan pertukaran gas.
c. Kerusakan integritas kulit.
d. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan.
e. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, prognosis, dan kebutuhan tindakan.

1. Pelaksanaan Asuhan Keperawatan
Pelaksanaan asuhan keparawatan adalah perwujudan dari rencana keperawatan yang meliputi tindakan-tindakan yang direncanakan oleh perawat. Dalam melaksanakan proses keperawatan harus bekerjasama dengan tim kesehatan yang lain, keluarga klien dan dengan klien sendiri, yang meliputi 3 hal :
a. Melaksanakan tindakan keperawatan dengan memperhatikan kode etik dengan standar praktek dan sumber-sumber yang ada.
b. Mengidentifikasi respon klien.
c. Mendokumentasikan/mengevaluasi pelaksanaan tindakan keperawatan dan respon pasien.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan :
1) Kebutuhan klien.
2) Dasar dari tindakan.
3) Kemampuan perseorangan dan keahlian/keterampilan dari perawat.
4) Sumber-sumber dari keluarga dan klien sendiri.
5) Sumber-sumber dari instansi.

2. Evaluasi keperawatan.
keperawatan dikatakan berhasil apabila dalam evaluasi terlihat pencapaian kriteria tujuan. Evaluasi adalah merupakan pengukuran dari keberhasilan rencana keperawatan dalam memenuhi kebutuhan klien. Tahap evaluasi merupakan kunci keberhasilan dalam menggunakan proses keperawatan. Adapun evaluasi klien dengan post op ikterus obstruktif yang dipasangi kateter tetap dilakukan berdasarkan kriteria tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan asuhan perawatan yang diberikan.